Maret 26, 2013

Dua Gelas Pop Ice yang Mencair

Sudah semalaman aku tak bisa tidur. Pikiranku slalu terbayang akan wajah Tia. Bagaimana tidak, kemarin adalah kebohongan terbesar yang pernah ku lakukan selama aku ngejalanin yang namanya pertemanan. Tia adalah teman sekampusku, kedekatan kita dimulai sejak pertama kuliah.

Aku berjalan perlahan menuju kelas. Perasaan dan pikiranku campur aduk. Gak karuan.  Aku bingung, harus bersikap dan berekspresi bagaimana saat bertemu Tia nanti. Huuuuh, aku menghela nafas panjang dan berharap everything gonna be okay. Yah, all is well.

Kumonitor seisi kelas, kudapati Tia duduk paling depan. Aku menghampirinya dengan langkah sendu. Dengan suara yang lemah aku memulai pembicaraan.

"Tia, maafin aku ya". Tanpa menghiraukan kata maaf dariku, Tia keluar menuju kelas. Kuhampiri dia.

"Tia, maafin aku ya".

"kenapa kamu gak datang kemarin?"

"Sori ia. Aku kerumah nenek, ada hal yang lebih penting yang harus kuselesaikan. Maaf ya"

"Kalo kamu bilang gak pergi, aku juga bakal gak pergi"

"Itu dia masalahnya ia, aku gak cerita ke kamu. Maafin aku ya"

"Apa kamu tau af? kemarin mama aku sakit. Tapi apa? Kamu gak dateng kan? Aku bela-belain pergi karna aku tau kamu pergi."

Tetesan air mata yang bergulir membasahi pipi Tia membuatku lemah tak berdaya. Tak mampu berkata apa-apa. Aku memang benar-benar bersalah. Dan akulah pelaku utama dalam masalah ini. Tapi sebenarnya dalam sandiwara ini aku gak sendiri. Bahkan kebohongan ini, memang sudah diskenariokan. Tapi kenapa setelah kejadiannya, aku merasa seperti wayang yang sedang dipermainkan oleh dayang. Dan dayangnya adalah Meri. Otak dari masalah ini. Ferdi juga ada dibalik skenario ini.

Aku tak habis pikir kenapa Meri bilang yang sebenarnya ke Tia kalo aku gak jadi pergi. Bukannya dia sendiri yang merencanakan, dia bakalan bilang sama yang lainnya kalo aku pergi tapi nanti aku sama Ferdi nyusul. Tapi ntah kenapa justru dia sendiri yang merusak skenarionya.

Dari awal aku memang udah mau cerita ke Tia kalo aku gak bakalan pergi. Tapi Ferdi menghentikan langkahku. Ferdi bilang, kalo aku bilang yang sebenarnya bukan cuma Tia gak bakalan pergi, tapi semuanya juga gak akan pergi. Aku bingung. Siapa sih aku? Masa cuma gara-gara aku gak pergi, semuanya bakalan gak jadi pergi. Lelucon apa-apaan ini?

Ya sudahlah. Masalah ini gak bisa selesai hari ini. Aku tau, bagaimanapun aku minta maaf ke Tia itu rasanya tak termaafkan. Aku mungkin juga akan bersikap yang sama kalo aku diposisi Tia.

Aku bergegas pulang. Niatnya emang mau cepat pulang. Bukan untuk menghindari siapa-siapa. Termasuk menghindar dari masalah ini. Ada urusan mendadak yang harus segera diselesaikan.

Aku bergegas berjalan menulusuri gang sempit. Sendirian. Sebenarnya mengejar waktu. Aku buru-buru. Kulirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku. Kudapati sudah menunjukan pukul 12.46 WIB. Langkahku semakinku percepat, karna jam setengah satu orang-orang dikantor istirahat.

“Af, dimana sekarang?”

Ferdi menelponku. “Aku dikantor camat fer”

“Tunggu aku disana ya, aku kesana sekarang”.

Aku tak tau, kenapa Ferdi menyusulku. Berita apalagi yang dia bawa. Aku menunggunya di pelantaran toko ditepi jalan. Yang jaraknya tak begitu jauh dari kantor camat. Hari ini memang benar-benar panas. Bukan hanya terik mentari yang menghangatkan siang ini, tapi juga kejadian tadi. Perlahan ku sapu keringat yang menyucur di pipiku.

Dengan nafas terengah-engah, Ferdi hadir dihadapanku. Kuperhatikan dia. Keringatnya begitu deras mengalir diwajahnya. Bahkan membasahi baju yang ia kenakan.

"Kamu jalannya cepat banget Af."

"Kenapa fer?"

"Ngapain Af, ke kantor camat?"

Gak sopan. Pertanyaanku diabaikan, malah dia nanya yang lain.

"Ada urusan"

"Udah urusannya?"

"Udah"

"Ya udah, kita minum yuk disana. Aku haus."

Aku dan dia jalan berbarengan. Disana kita masih membahas mengenai masalah aku dan Tia. Dia bilang, dia merasa bersalah atas kejadian ini. Bahkan dia tak sungkan-sungkan menodong bahwa dia adalah penyebab utama dari perselisihan antara aku dan Tia.

Tapi sebenarnya Ferdi gak salah. Akulah yang salah. Aku seharusnya nurutin kata hati. Bukan kata siapa-siapa termasuk kata Ferdi. Harusnya aku jujur dari awal ke Tia kalo aku gak jadi pergi. Mungkin ceritanya gak bakalan begini. Dan sekarang, aku terjerat dalam sebuah skenario yang  Meri ciptakan.

Kami singgah, di sebuah cafe minuman sederhana di pinggir jalan.

"Kamu mau minum apa af?"

"Aku gak minum Fer"

"Gak, kamu minum ya. Biar aku pesanin".

"Gak Fer, aku gak haus. Kamu aja"

"Mbak, Pop Icenya dua ya". Pesan Ferdi kepada seorang pelayan.

"Fer, koq dua sih. Aku kan gak minum."

Ferdi hanya mengeleng-geleng kepala.  Dan tetap memesan dua gelas pop ice.

Oh, God. Ni cowok keras kepala banget sih. Gerutuku dalam hati. Aku kan udah bilang, aku gak mau minum. Aku gak haus.

Aku dan Ferdi duduk berhadapan. Pembicaraan kita gak jauh-jauh dari permasalahan tentang aku dan Tia.

"Maafin aku ya Af, gara-gara ngikutin saran dari aku, kamu sama Tia jadi diam-diaman gini"

"Udahlah Fer, gak usah dibahas. Ini udah terjadi. Lagian gak ada yang bisa aku salahin. Karna kesalahan terbesar itu aku"

"Tapi benaran lho Af, Meri yang nyuruh aku bilang ke kamu, kalo kamu bilang ama Tia kamu jadi pergi"
 
"Iya aku tau, tapi..”

Seorang pelayan datang dengan dua gelas pop ice dan memotong pembicaraan kami.

"Yuk Af, diminum". Ajaknya ringkas.

"Gak  Fer, Aku gak haus".

"Ya udah kalo gitu aku juga gak minum".

"Lho, tadi katanya kamu haus".

“Gak, aku juga gak minum, kalo kamu gak minum”.

Suasana berubah menjadi hening. Aku diam. Ferdi juga diam. Panasnya mentari tak menghangatkan suasana antara kami berdua justru malah sebaliknya.

Kurasakan suasana yang mulai mendingin, sedingin dua gelas pop ice dihadapnku. Sekali kali kulirik pop ice diatas meja dengan butiran-butiran air yang mengalir. Dan mengembun. Oh segarnya, jika pop ice itu kubiarkan menggalir ditenggorokanku sebagai pelepas dahaga.

Aku kembali memandang sendu kedua pop ice itu dalam-dalam. Yahh mubasir, keluhku dalam hati. Ingin ku raih dan meminumnya. Tapi gak, prinsip tetap prinsip. Sekali gak tetap enggak.

Lewat pop ice ini, aku ingin dia tau, kalo aku lebih keras kepala dari apa yang dia pikirkan. Gak kayak dia. Plinplan, gak komitmen dan ga konsisten.  Tadi katanya haus, tapi apa?. Dia gak bisa megang kata-katanya. Masalah kecil gini aja, kata-katamya ga bisa dipegang. 

Bagaimana dengan masalah yang lain, apalagi urusan hati? Apa kedepannya dia masih bisa dipercaya? Apa mungkin dia akan membiarkan hati ini seperti dua gelas pop ice itu dan kemudian meninggalkannya? Aah, entahlah. 

Bahkan aku sanski terhadap waktu. Apa mungkin waktu bisa menjawabnya atau tidak akan ada jawaban sama sekali.